Warga di sekitar Apartemen Teluk Intan di Penjaringan, Jakarta Utara, geger dengan insiden bunuh diri satu keluarga pada Sabtu (9/3/2024) sore kemarin. Satu keluarga itu terdiri sang ayah berinisial EA (50), ibu AI (50), anak perempuan JL (15), dan anak laki laki JW (13). Mereka tergeletak dalam kondisi mengenaskan di depan lobi apartemen.
Pihak kepolisian Polsek Penjaringan memastikan satu keluarga itu melakukan aksi bunuh diri. Terkait maraknya kasus bunuh diri yang terjadi, timbul banyak pertanyaan kenapa ini bisa terjad? Ada yang mengaitkan dengan masalah sosial hingga ekonomi.
Psikolog Ungkap Faktor yang Mempengaruhi Keinginan Bunuh Diri: Personal, Lingkungan & Kondisi Sosial Motif Orang Tua Ajak Anak Bunuh Diri Menurut Psikolog TERNYATA Faktor Inilah yang Mempengaruhi Kekerasan Seksual pada Anak di Sumedang
Marak Kasus Bunuh Diri, Psikolog: Bukan Berarti Karena Orang Tersebut Lemah Konten Bunuh Diri Berpotensi Jadi Pemicu, Ini Penjelasan Psikolog RSUD Provinsi NTB Jumlah ODHA di Kuningan Meroket, Aktivis Sosial Lingkungan Ungkap Penyebabnya
Angka Bunuh Diri Tinggi, Psikolog Nilai Perlu Akses Layanan Kesehatan Mental untuk Masyarakat Kapolri Turun Tangan Dalami Motif Brigadir RAT Bunuh Diri, Ini Kata Psikolog Penyebabnya Seperti melambungnya harga pangan, sulitnya berinteraksi dan bertahan hidup, hingga permasalahan utang.
Namun, menurut psikolog klinis dewasa Nirmala Ika Kusumaningrum, M.Psi, kasus bunuh diri tidak bisa dilihat dari satu aspek saja. Walau memang, aspek sosial juga punya pengaruh untuk mendorong seseorang mengakhiri hidupnya. Tapi ada aspek lain yang juga penting untuk dilihat. Dan jika aspek ini bergabung, maka bisa memicu korban melakukan aksi nekat.
Pertama, aspek personal. Menurutnya, upaya mengakhiri hidup sendiri bukanlah keputusan yang mudah. Bisa saja orang tersebut telah menghadapi situasi berat hingga berkali kali. Keadaan ini tentu turut memengaruhi kondisi psikisnya. Kondisi psikis ini juga berisiko memunculkan bibit atau bahkan sudah mengalami gangguan kesehatan mental itu sendiri.
Sumber dari bibit atau masalah kesehatan mental ini munculnya pun beragam. "Misalnya kita berasal dari keluarga yang memang punya keluarga skizofrenia atau depresi. Apakah akan bunuh diri? Tentu belum ya, tetapi kita punya bibitnya. Kasarnya kaya begitu," paparnya. Faktor personal menurut Nirmala jauh lebih besar dibandingkan dari faktor sosial.
"Karena kondisi personal itu kan yang membuat akhirnya (punya) daya juang, lenting gak si orang orang ini," jelasnya. Kedua, faktor lingkungan. Bagaimana lingkungan tempat orang tersebut tumbuh dan tinggal. Lingkungan yang tidak mendukung, seperti tinggal dalam keluarga broken home dan tidak suportif tentu bisa memantik masalah kesehatan mental.
Namun, walau pun orang tersebut punya potensi depresi, tapi ia lahir dalam keluarga yang baik, selalu memberi dukungan dan kasih sayang, potensi bunuh diri bisa saja tidak muncul. "Misalnya orang punya potensi depresi ternyata tumbuh (dengan) orangtua suportif, lingkungan masyarakat baik, ada solusi pemecahan masalahnya. Mungkin keinginan bunuh diri tidak akan muncul," imbuhnya. Terutama jika orang tersebut tumbuh dalam lingkungan yang bisa mengajarkan bagaimana merespon segala sesuatu dengan baik.
"Semua orang punya masalah, lingkungan tempat tumbuh bisa mengajarkan dengan baik. Membuat kita bisa mengasah kemampuan problem solving," kata Nirmala. Ketiga, faktor kondisi sosial. Ini bisa saja jadi pemicunya. Misal, adanya regulasi yang sampai mengubah kondisi kehidupan seseorang.
Tiba tiba harga pangan melonjak naik, atau terjadinya kerusuhan. Namun, kalau daya lenting orang ini sudah terasah serta problem solving nya baik, kondisi ini tidak langsung membuat orang ingin bunuh diri. "Ketika suatu saat kondisi sosial berubah,lingkungan tiba baik baik saja, tiba tiba berubah. (Misal) wah harga naik, ada kerusuhan. Tapi itu tidak otomatis langsung jadi ingin bunuh diri, karena punya skill untuk bertahan hidup tadi," terangnya.
Ini bisa dilihat dari situasi pandemi Covid 19 beberapa waktu yang lalu. Semua orang merasakan dampaknya. Dimulai dari sisi kesehatan hingga ekonomi. "Tapi bisa kita bilang tidak semua orang melakukan bunuh diri. Kenapa? Banyak orang yang mempunyai kemampuan untuk beradaptasi," ucap Nirmala. Begitu juga kalau dicontohkan dengan kenaikan harga pangan.
Kenaikan harga pangan dirasakan satu negara itu. Namun tidak semua orang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Lebih lanjut Nirmala mengingatkan jika jangan sampai ada stigma orang yang mengakhiri hidupnya itu karena ia lemah. "Tapi harus hati hati, bukan berarti dia lemah. Bisa jadi (ia) orang kuat. (Tapi) ia tumbuh dalam lingkungan yang sangat keras," sambungnya.
Bisa saja sejak kecil ia menghadapi permasalahan keluarga. Atau orang tersebut sudah berjuang keras sendiri sedari kecil. Ditambah tidak diajarkan bagaimana melakukan suatu penyelesaian masalah (problem solving). "Ketika 'fight' tidak diajarkan untuk survive hidup. Bagaimana hidup pasti ada persoalan dan harus melalui itu dan belajar mengatasi itu. (Tidak diajarkan), bisa jadi akan melakukan bunuh diri," tambah Nirmala.
Sekali lagi, Nirmala menegaskan jika ketika memutuskan bunuh diri, bukan berarti karena orang tersebut lemah. Tapi dirinya tidak lagi bisa menemukan jalan keluar dan hanya melihat jalan buntu. "Sebetulnya mereka frustasi tidak tahu lagi melakukan apa, kata Nirmala.
"Yang membuat frustasi beragam. Misalnya tumbuh di lingkungan tidak sehat, dia merasa tidak mencintai dia. Setiap dia minta tolong, atau memohon sama orang kesannya direndahkan," ujarnya. Artikel ini merupakan bagian dari KG Media. Ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.